Blogger Widgets

Entri Populer

Selasa, 15 Oktober 2013

FF PROMISE | BoKi (Song Joongki - Park Boyoung) | Romance, Sad, Tragic & Gado-Gado









PROMISE

Author                  : Yonggyu90
Main Cast            : Song Joongki, Park Boyoung
Spc. Cast              : Park Jaehee (OC) and others.
Genre                   : Romance, sad, tragic, Gado-gado (campur aduk maksudnya) xD
Rate                       : PG 15+
Length                  : Oneshot
Note                      : this Fanfic Inspire by A Thousand Years - Christina Perri, but this isn’t a Songfic^^~
                                Bacanya sambil dengerin lagu ini ne… mian dengan banyaknya thypo xD
Disclaimer           : This story is mine. No plagiarism. J
                                ===

                Awalnya aku tak mengerti kenapa Park Jaehee eonnie senang sekali melakukan charity event. Dia lebih senang menghabiskan uang jajan bulanannya untuk mengikuti acara amal. Sangat berbeda denganku yang sering menghabiskan uangku untuk bersenang-senang. Membeli CD idolaku, membeli benda-benda yang kata eonnie dan appa itu tidak begitu penting. Jelas saja Jaehee eonnie menuruni sifat appa yang rendah hati dan penyayang. Appa juga senang beramal dan berbagi. Mungkin sifatku ini turunan dari Eomma kami yang sudah meninggal sejak melahirkanku.

                Padahal… uang jajan yang hanya 50.000 won perbulan itu sangat disayangkan jika diberikan kepada yayasan secara Cuma-Cuma.

                “Kau harus ikut dengan eonnie agar kau tau kenapa eonnie senang melakukannya.” Jawabnya ketika ku Tanya kenapa dia senang sekali membuang uangnya untuk acara amal.

                Dan seperti pagi ini, aku melihatnya memasak begitu banyak makanan di dapur.

                “Wuah.. eonnie memasak sebanyak ini untuk apa?” tanyaku seraya membantunya mengiris wortel.

                “Kau lupa? Kan eonnie kemarin sudah bilang ingin pergi ke Cancer foundation.” Jawabnya  dengan tetap serius melakukan kegiatannya.

                “Tapi kan biasanya eonnie hanya membawakan mereka buah? Kenapa hari ini memasak?” Aku masih ingin tahu kenapa dia mau repot-repot bangun pagi dan memasak sebanyak ini.

                “Eonnie ingin merasakan sedikit perjuangan.” Jawabnya sambil tersenyum ke arahku. Aku hanya bingung tak mengerti.

                Setelah berkutat cukup lama di dapur, akhirnya pekerjaan memasak ini selesai juga. Aku menatanya dengan sangat rapi di kotak makan yang sudah di sediakan jaehee eonnie selagi dia bersiap-siap di kamarnya.

                “Bo Young-ah….!” Jaehee eonnie keluar kamarnya tergesa-gesa ke arahku yang tengah menata kotak makan.
                “Waeyo?”

                “Sunggyu Oppa tak bisa menjemput hari ini. katanya ada masalah urgent. Bisakah kau mengantarku? Jebal?” Dia memelas ke arahku. Aku bingung tak tau harus apa. Aku sedikit mendesah. Kenapa Sunggyu oppa pacar kakakku harus sibuk di akhir pekan seperti ini.

                “Eonnie bawa mobil appa saja. Aku sedang malas sekali.” Jawabku ogah-ogahan. Bisa dibayangkan betapa membosankannya berada di tempat seperti itu? aku putuskan aku tak mau.

                “Bo Young-ah… jebal. Eonnie tak mungkin mengangkut makanan sebanyak ini sendirian dari mobil? Andai saja appa sudah pulang dari rumah kakek di Busan pasti aku akan meminta appa yang mengantar. Sekali ini saja eoh?” terlihat tatapan penuh harap dari mata jaehee eonnie. Dan ini yang paling aku benci. Aku paling benci melihat eonnie yang berperan sebagai ibu bagiku menatapku seperti ini.

                “Araseo… aku akan bersiap.” Ucapku kemudian. Dan akhirnya dia pun tersenyum senang ke arahku. ‘kau tau eonnie… senyummu itu hidupku.’ Batinku.

                “Gomawo…!” dia langsung menghambur di pelukku.
                “ne… Gomapda!” ucapku membalas peluknya sebelum aku beranjak ke kamar untuk bersiap.
                Lima belas menit kemudian aku telah selesai dan berjalan membantu eonnie ku yang sudah mulai mengangkut makanan itu ke mobil. Setelah semua masuk ke mobil, kami pun berangkat ke Cancer foundation. Dari namanya aku sudah tau ini adalah Yayasan kanker. Aku tak bisa membayangkan seperti apa suasana di sana.

                “Nahhh… akhirnya sampai juga.” Serunya saat mobil kami berhenti di parkiran sebuah gedung kecil yang lebih mirip sebuah rumah.

                Aku keluar mobil dan menatap gedung di depanku itu. sepi. Di depan terdapat dua pilar yang menyangga sebuah board bertuliskan Korean Cancer Foundation. Meskipun kecil, tapi gedung itu terlihat bersih dan rapi. Beberapa pohon maple tertanam indah di halaman.

                “Hey.. kenapa bengong saja? Bantu eonnie.” Teriak Jaehee eonnie yang mulai mengeluarkan makanan dari dalam mobil.

                “Oh… ne,” aku bergegas membantunya. “Eonnie-ya… kenapa sepi sekali?” tanyaku penasaran.
                “Eoh… mungkin mereka sedang mendengarkan Joongki bermain piano.” Jawab eonnie.

                Aku hanya meng-oh pelan. Meskipun aku sendiri tak tau siapa joongki itu.

                Aku berjalan menyususri koridor yang begitu sejuk sambil membawa makanan yang telah kami bawa dari rumah. Ntah mengapa aku mulai menyukai udara di tempat ini. menyejukkan. Dan begitu tenang.

                “Hey… kau mau ke mana?” Suara eonnie mengejutkanku. Aku langsung tersadar jika aku kini berjalan di arah yang salah. Aku terkikik pelan mengingat kebodohanku. Aku melamun sampai tak memperhatikan jalan kakakku.

                Aku sedkit mengejarnya yang berada di depanku. Samar-samar aku mendengar alunan piano yang begitu membiusku. Aku menyukainya. Inilah hal pertama yang ku rasakan ketika mendengar alunan piano itu. suara piano itu sangat indah dan terdengar tulus. Kami kemudian memasuki ruangan di mana suara piano itu berasal.
                Mataku langsung terpaku pada seseorang yang memainkan piano itu. entah mengapa aku merasa wajahnya begitu teduh dan menyenangkan. Senyumnya membuatku sulit bernafas mengembang begitu saja membuatku terpaku tak mampu bergerak lebih. Kami hanya mematung di pintu menunggu lagu itu selesai dimainkan dan tentu saja kami sangat menikmati pertunjukkan sederhana itu.

                Lagu yang dimainkannya begitu hangat… dan menyentuh…

                Tiba-tiba suara tepuk tangan riuh mengejutkanku yang tengah tertegun menikmati alunan lagu itu.

                “Anyeong…..” eonnie menyapa mereka sembari mengangkat beberapa plastic yang kami bawa.
                “Anyeong….” Jawab mereka yang ada di dalam serempak membuat bulu kudukku semakin meremang.

                Deg!

                Jantungku seolah berhenti berdetak ketika aku menatap mereka satu persatu. Hanya ada sekitar 15 anak di sana, mataku terus saja menatap mereka satu persatu dari kiri ke kanan. Aku masih berdiri mematung  tak percaya dengan apa yang aku lihat. Anak-anak yang begitu polos penderita kanker.

                “jaehee nuna, itu siapa?” seorang anak yang tengah duduk di kursi roda menanyakanku kepada jaehee eonnie.
                “Eoh… ne, aku sampai lupa. Ini adikku Park boyoung.” Aku sedikit tersentak ketika eonnie menyebut namaku.
                “Anyeong…” aku membungkuk menyapa mereka.

                Satu persatu ku teliti wajah mereka. Aku serasa ingin menangis. Mereka ada yang duduk di kursi roda, ada yang kepalanya tak terdapat sehelai rambut pun. Dan akhirnya mataku pun bertemu dengan mata namja yang tadi bermain piano dengan tersenyum dan membungkuk ke arahku pelan. Dengan ragu-ragu ku balas membungkuk padanya.

                Dia bangkit berdiri dan berjalan ke arahku.

                “Boleh aku bantu?” sapanya sambil mengambil kotak makan yang aku bawa. Aku hanya tertegun menatapnya. Senyumnya begitu hangat. Ntah mengapa aku suka sekali melihat senyum itu.

                Aku hanya menatap namja itu yang kini tertawa dan makan bersama anak-anak lainnya.

                “Eonnie… ikutlah bersama kami…” seorang gadis kecil tiba-tiba meraih tanganku dan menarikku untuk duduk bersama mereka. Kakakku terlihat sibuk dengan beberapa anak lain dan menyuapinya. Aku tak menyadari jika aku ditarik dan duduk di samping namja itu.

                “Song joongki imnida.” Namja itu mengulurkan tangan ke arahku.
                “Park Boyoung imnida, senang bertemu denganmu.” Aku mengangguk pelan ke arahnya yang tersenyum manis.

                “nuna… makanlah…!” seorang anak laki-laki yang tengah duduk di kursi roda mengejutkanku yang  tengah menatap Joongki.

                Dia berusaha menyuapiku. Matanya begitu sayu, bibirnya pucat, tubuhnya sangat kurus. Tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Sekuat tenaga aku menahan hatiku yang terasa sangat berat karena ingin menangis. Perlahan aku mendekatinya dan membuka mulutku. Dia begitu senang. Ya Tuhan… aku sudah tak tahan lagi. Aku berlari keluar dan terduduk menangis di bawah pohon.

                Aku membayangkan betapa sakit yang mereka rasakan. Bahkan mereka tak tau sampai kapan mereka akan bertahan hidup. Namun mereka masih tersenyum dan bermain seperti itu. pikiran iba terus berkecamuk di kepalaku. Tangisku tak dapat ku tahan. Sekarang aku tau alasan kenapa appa dan kakakku begitu suka melakukan hal ini. mereka ingin melihat dunia tersenyum. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka meskipun itu hanya secuil.

                “Uljima!” sebuah tangan memegang pundakku. Aku tersentak dan dengan cepat ku hapus air mataku dan menatap Joongkiyang  tengah beralih duduk di sampingku.
                “Aku tak menangis.” Kilahku.
                “Hey… mereka itu bahagia. Kau jangan khawatir.” Ucapnya seolah menenangkanku.

                Entah mengapa perkataan namja ini begitu menenangkan. Dan sepertinya… mulai detik ini aku benar-benar menyukainya.
===
                Sejak saat itu aku senang sekali bermain ke sana. Ketika eonnie sibuk, Joongki dengan senang hati akan menjemputku dan membawaku ke sana.  tak terasa ternyata sudah 5 bulan aku mengenalnya. Dia pria yang baik, jujur aku semakin tertarik padanya. Bagaimana dia memperlakukan anak-anak di yayasan itu membuatku semakin mengaguminya. Tak pernah ku lihat kesedihan di matanya.

                Joongki ternyata adalah suka relawan yang setiap akhir pekan menghibur anak-anak di yayasan. Eonnie bilang, sudah hampir satu tahun dia melakukan kegiatannya itu. Ibunya telah meninggal karena terserang kanker.  Itulah yang membuatnya menyayangi anak-anak dan rela menjadi penghibur di yayasan meskipun dia tidak mendapatkan bayaran.

                Seperti biasanya, ketika akhir pekan Joongki akan bermain piano di sana dan tentu saja kini aku selalu menemaninya. Aku memangku seorang gadis kecil berusia 7 tahun yang ternyata mengidap kanker hati stadium lanjut. Kami begitu menikmati permainan piano joongki yang terasa memberi kami semangat.

                “Dia… sudah tak bisa di tolong lagi. Transplantasi hati sudah terlambat untuk di lakukan.” Kata-kata joongki waktu itu terngiang di telingaku. aku begitu ketakutan dan mendekap Ahra yang aku pangku dengan erat.

                “Uhuk-uhuk…” tiba-tiba ahra terbatuk dan memuntahkan cairan merah sedikit kental.

                “Darah?” aku bergumam, ahra memuntahkan darah di pangkuanku. “Oppa…!” pekikku ketakutan melihat Ahra dan mencoba membersihkan mulut Ahra yang terus saja memuntahkan darah.

                Sontak Joongki menghentikan kegiatannya dan berlari ke arahku. Dengan sigap dia membopong Ahra dan berlari menuju ruangan yang berada di ujung lorong. Ketakutan mulai menyelimutiku. Aku mengejar Joongki dengan tangis tertahan.

                Aku begitu khawatir sehingga aku ingin ikut Joongki masuk, namun seorang perawat mencegahku. Sehingga aku hanya mampu menangis dengan harap-harap cemas di depan pintu.

                “Aku takut.” Aku langsung menghambur ke pelukan Joongki ketika dia keluar dari ruangan itu.

                “Ini memang saatnya, kita harus mengikhlaskan dia.” Ucap Joongki lembut memelukku yang semakin membuatku menangis terguguk ketakutan.

                Dan benar saja, Ahra pergi.

                Aku begitu menyesal kenapa aku tak mengenal Ahra lebih awal sehingga aku bisa menghiburnya. Apa lagi setelah ku tahu, Ahra di tinggalkan orang tuanya di yayasan ini ketika mengetahuinya mengidap kanker. Dan tanpa menjenguknya hingga sekarang.
                ===
               
                “Sudah jangan terus bersedih, semua orang nanti juga akan pergi ke sana.” Ucapnya sambil mencubit hidungku dalam perjalanan pulang dari yayasan seminggu setelah Ahra pergi.

                “Aishh… kenapa oppa suka sekali mencubit hidungku?” kesalku. Meski begitu ini yang selalu membuatku merindukan namja ini.

                Dia hanya terkikik pelan dan mencubitku lagi.

                “yaa…!!!” teriakku ketika dia berlari karena tau aku akan mengamuk dan memukulinya dengan tasku. Aku pun langsung mengejarnya. “Oppa… awas kau!” teriakku.

                “Kejar saja jika kau bisa!” dia berbalik dan menjulurkan lidah padaku yang membuatku semakin geregetan.

                “baiklahhh…..” ku percepat lariku mengejarnya. Namun secepat apapun ku berlari dan hampir menangkapnya dia selalu bisa mengelak dan membuatku semakin sebal.

                “Aku yang menangkapmu.” Teriaknya ketika mendekap ku dari belakang.

                BRUGH!

                Dia menghempaskan tubuh kami di atas rerumputan tebal. Kami berbaring menatap langit dengan sisa-sisa tawa dan deru nafas yang memburu karena berlari-larian. Aku fikir ini lucu seperti anak kecil saja. Dia masih tertawa menatap langit yang hari itu cerah dan tidak menyilaukan. Ku tolehkan pandanganku padanya, menatapnya yang tengah tersenyum dan berbaring di sampingku. Deru nafas kami masih memburu karena kelelahan.

                Ingin sekali ku katakan aku mencintainya. Namun entah mengapa mulut ini seolah terkunci. Mungkin dia hanya menganggapku sebagai adik. Aku tak mau jika aku jujur dan ternyata itulah jawabannya. Pasti akan terasa sangat sakit.

                “Wae???” dia menoleh ke arahku yang terus menatapnya.

                Aku hanya terdiam menikmati wajah manisnya. Secara tak sadar tanganku bergerak mengusap pipinya perlahan. Dia tak menolak dan hanya terdiam menatapku. Matanya begitu indah dan meneduhkan. Aku mau jika terus menatapnya semalaman meskipun aku harus tidak berkedip. Di saat pikiranku tengah mengembara entah ke mana, dengan tiba-tiba dia memegang tanganku yang mengusap pipinya dan mendekatkan wajahnya kepadaku membuatku terpaku.

                Jantungku serasa meledak. Aliran darahku serasa berhenti. Ketika ku mersakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Aku hilang kesadaran. Aku masih tertegun tak percaya dengan apa yang terjadi denganku. Mataku masih melebar dan tak mampu berkedip karena tak mampu mempercayai apa yang tengah terjadi.

                Dan ku rasakan sesuatu yang lembut itu mulai memudar di bibirku. Wajahnya mulai menjauhi ku perlahan. Dia menatapku dalam dan menggenggam erat tanganku yang tadi mengusap pipinya.

                “Ayo kita pulang!” dia membuka suara dan tersenyum ke arah ku.
                “Eoh..” dan aku pun mulai mendapatkan kembali kesadaranku.

                Dia beranjak berdiri kemudian mengulurkan tangannya padaku agar aku menggapainya untuk mempermudah ku berdiri.

                Kami hanya terdiam dalam perjalanan pulang. Sesekali aku meliriknya yang tengah memegang tanganku. Aku merasa canggung dengan apa yang baru saja terjadi. Ku lihat senyum terukir di wajahnya dan membuatku mengembangkan senyum tertahan. Senang.

                “Masuklah!” perintahnya ketika telah sampai di depan rumahku dengan senyum yang masih mengembang. Dia kemudian melepaskan genggaman tangannya pada tanganku perlahan.

                “Oppa tidak masuk dulu? Minum teh?” Rajukku padanya.
                “lain kali saja.” Jawabnya sembari tersenyum.

                Namun aku merasakan ada yang aneh dengan senyumnya. Alisku pun berkerut karena merasa ada yang salah dengan dirinya.

                “Kenapa Oppa terlihat sangat pucat?” tanyaku pada akhirnya. Ya, dia terlihat sangat pucat. padahal tadi pagi dia masih terlihat begitu ceria dan cerah.

                “Aku? Pucat?” tanyanya sedikit terkejut. “Eoh.. mungkin karena kelelahan. Baiklah kalau begitu… aku permisi dulu.” Dia mengusap pipiku pelan dan berbalik pergi dari hadapanku. Setelah kepergiannya aku langsung berlari ke dalam rumah dengan senyum mengembang tentunya.

                “Eonnie….” Aku berteriak langsung masuk ke dalam kamar kakakku.
                “Waeyo? Kau terlihat senang sekali.” Sepertinya kakakku satu-satunya itu mencium bau yang tidak beres padaku.

                “Aku mencintainya! Ya Tuhan aku sungguh mencintainya.” Aku langsung menghambur memeluk kakak perempuanku itu.
                Sepertinya kakakku masih belum mengerti karena dia hanya membalas pelukanku dan hanya tertegun.

                “Apa yang kau maksud Joongki?” tanyanya kemudian membelalakkan matanya.
                “Siapa lagi? Dialah teman pria yang dekat denganku.” Aku masih tak bisa menyimpan perasaan hatiku yang meledak-ledak.

                “Aigooo…. Adikku akhirnya jatuh cinta juga.” Dia memelukku hangat.

                Lama aku berada di kamar kakakku untuk menceritakan semua yang ku alami. Dan kakakku Nampak terkejut tak percaya. Tentu saja, bahkan Sunggyu Oppa pacarnya tidak seromantis itu. namun kemudian aku memikirkan sesuatu setelah aku kembali ke kamar.

                Aku duduk di jendela dan menghadap ke langit karena malam mulai datang. Terkadang  aku tertawa dan menyentuh bibirku ketika mengingat kejadian sore itu, namun tiba-tiba aku terdiam. ‘Kenapa dia menciumku? Apa karena dia mencintaiku? Tapi kenapa dia tidak menyatakan cintanya padaku jika itu benar?’ hatiku terus bergejolak tak karuan.

                Tringgg…

                Bunyi ponsel mengejutkanku yang tengah gundah. Sepertinya ada sebuah pesan masuk. Aku pun berjalan mengambil ponsel yang berada di ranjangku. Betapa senangnya aku ketika aku mengetahui pesan itu darinya. Dari namja yang telah mencuri hatiku. Ingin rasanya aku meloncat kegirangan.

                ‘Gomawo… ^^’

                Sebuah pesan yang begitu singkat namun tentu saja membuat hatiku semakin meledak. Apa itu artinya tentang kejadian sore tadi? Ntah lah, yang jelas karena aku terlalu senang, aku langsung membalasnya.
               
                ‘eoh… jangan lupa makan malam^^’

                Balasku. 5 menit, 10 menit sampai satu jam aku menunggu balasannya. Namun tak ada sama sekali sampai aku tertidur.
===

                Tiga hari berlalu aku baru bertemu dengannya. Dia terlihat sangat lesu. Dia terlihat pucat dan matanya terlihat sedikit sayu kekuningan.

                “Oppa… apa kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
                “Tentu saja, memangnya kenapa?” dia sedikit aneh mendengar pertanyaanku.
                “Aniya…” aku menggeleng pelan. Namun perasaan khawatir itu terus saja berkecamuk.
                Hari itu dia begitu berbeda dengan biasanya. Dia terlihat sangat lelah dan lesu.

                “Mau menemaniku?” tanyanya kepadaku ketika aku menyuapi seorang anak laki-laki penderita kanker otak di yayasan.
                “Eodiga?” tanyaku ingin tahu.
                “nanti kau akan tau.” Jawabnya seraya tersenyum.

                Akhirnya aku pun menerima ajakan untuk menemaninya. Kami berjalan beriringan sambil sesekali bercanda. namun tak dapat ku pungkiri aku sedikit merasa lelah berjalan. Dia menatapku sekilas kemudian menghentikan langkahku dan berjongkok di depanku.

                “Wae???” Aku terkejut mendapatinya menghadangku dengan berjongkok.
                “Naiklah…” perintahnya.

                Aku bimbang. Mana mungkin aku menuruti keinginannya sedangkan dia dalam keadaan tidak fit seperti itu. karena aku hanya terdiam, akhirnya dia menarik tanganku dan membuatku memeluknya yang tengah berjongkok. Perlahan dia berdiri dan aku pun kini berada digendongannya.

                “Oppa… kau tau, kau mengingatkanku pada masa kecilku.” Aku membuka pembicaraan.
                “Hm… bagian mana yang membuatmu mengingat kenangan itu?” tanyanya dengan sedikit menoleh ke arahku yang berada digendongannya.

                “ini. kau menggendongku.” Jawabku malu-malu dan menyembunyikan wajahku di pundaknya.

                Dia terkekeh pelan. “Aku akan menggendongmu selama aku masih mampu.” Ucapnya yang membuatku semakin tersipu malu. “Tapi aku tak berani melakukannya jika kau sudah punya pacar.” Ucapnya lagi yang membuat hatiku mencelos.

                Jadi? Apa maksudnya ini? apa dia hanya menganggapku sebagai adiknya saja? Lalu kenapa dia menciumku waktu itu? aku hanya terdiam mencermati kata-katanya.

                “lihatlah… kita sudah sampai.” Ucapnya kemudian menyadarkanku dari fikiran-fikaran yang terus membayangi.

                “danau?” tanyaku padanya setelah dia menurunkanku dari gendongannya.
                “eoh… aku ingin sekali pergi ke sini. Namun aku takut jika sendirian.” Tawanya meledak kemudian.
                “Aishh… kan banyak .” Ucapku sembari berkedip ke arahnya.
                “Tidak… aku hanya ingin ditemani oleh mu.” Jawabnya yang membuatku semakin bingung.

                Ingin sekali aku berteriak dan bertanya padanya. ‘Sebenarnya kau anggap aku ini sebagai apa?’ namun tak bisa. Mulutku seolah terkunci.

                “kau percaya dengan kehidupan kedua?”
                “Ye?” aku heran dengan pertanyaan konyolnya.
                “Ya, kehidupan kedua. Apa kau mempercayainya?” tanyanya lagi.

                “Aku... tak tau kehidupan kedua itu ada atau tidak. Tapi aku berharap. Jika nanti ada kehidupan kedua, aku ingin bertemu denganmu lagi.” Ucapku yang membuatnya sontak menoleh ke arahku.

                “Semoga saja kita bisa bertemu. Dan takdir memberikan jalan lain. Tidak seperti saat ini.” dia berkata dan menatap ujung danau nan jauh di sana. Dan ini semakin membuatku bingung. ‘Takdir memberikan jalan lain’ apa lagi ini maksudnya?

                “Ahss…” tiba-tiba dia merintih memegangi perutnya.
                “Ya oppa, neo gwaenchana?” tanyaku khawatir melihatnya.
                “Gwaenchana, aku hanya sedikit mag.” Jawabnya sembari tersenyum.
                Dia terlihat lebih pucat dari kemarin. Ahh.. dia sakit mag.

                “Kenapa bisa terkena Mag?” tanyaku sedikit memarahinya. “Kau pasti sering lupa makan.” Aku memukul pundaknya pelan karena geregetan.

                “Eoh… aku terlalu sibuk.” Kilahnya. “tenang.. ini tak apa-apa.” Pungkasnya lagi. “Kita naik perahu? Aku yang mendayung.” Dia menarik tanganku untuk berlari pelan menuju sebuah perahu kosong.

                Dia naik duluan ke perahu, dan mengulurkan tangannya ke arahku untuk membantu ku naik. Perlahan dia mulai mendayung. Pandanganku tak lepas dari wajahnya yang melihat pemandangan sekitar.

                Dia mengalihkan pandangannya ke arahku dan menghentikan kegiatannya setelah sedikit berada di tengah danau. Aku mencoba mengalihkan perhatianku.

                “Apa aku terlalu tampan sampai kau melihatku seperti itu?” Tanya sembari sedikit menggodaku.
                Jujur saja iya. Kau tampan.

                “Aishhh jangan bercanda. Oppa tidak lebih tampan dari Appa ku.” Aku memeletkan lidahku mengejeknya dan berusaha mengelak.

                “Ahjussi? Aishhh kenapa kau menyamakanku dengan Ahjussi? Itu tak adil. Jelas saja dia lebih  tampan dariku karena dia appamu.” Dia terlihat sedikit cemberut. Aku tau dia hanya menggodaku.

                Kcipak….
                Aku mencibakkan air ke arahnya.

                “ya…” Dia menggeram dan membalas dendam dengan mencibakkan air ke arahku. Aku pun berteriak-teriak takut kegelian. Dan mulailah kami saling menyiratkan air. Kami tertawa dan berteriak. Betapa senangnya aku bercanda dengannya. Kami pun berbasah-basahan dan saling tertawa lepas.

                Srettt….

                Dia menahan tanganku yang akan mencibak lagi. Dia menatapku dalam. Perlahan tangan kirinya meraih pipiku dan mengusapnya pelan.

                Denyut jantungku serasa berhenti karena terlalu kencang berdetak. Aku terpaku menikmati sentuhan lembut tangannya di pipiku. Entah sejak kapan wajah kami menjadi begitu dekat. Hingga aku tak sadar jika kini aku memejamkan mata merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Hatiku berdesir. Sentuhan itu pun memudar dan beralih ke keningku membuatku tersadar dan membuka mata.

                Ku lihat dia tersenyum ke arahku. Senyum yang menjadi canduku.

===

                Sejak dia menciumku untuk yang pertama kali, hingga kini beberapa hari telah berlalu dan aku mendapatinya terlihat pucat setiap kali bertemu dan dia semakin terlihat kurus. aku merasa sangat khawatir dengannya. Aku takut jika dia terkena Liver karena mag yang terlalu parah.

                Seperti biasanya, kami berada di yayasan dan bermain dengan anak-anak. Tiba-tiba dia berkeringat dingin dan memegangi perutnya. Aku tau perutnya sedang sakit. Dia berusaha pergi diam-diam ketika aku sedang bersenda gurau dengan anak-anak lain.

                Namun dengan diam-diam pula aku mengikutinya karena aku takut jika dia nanti terjatuh atau pingsan. Namun apa yang ku takutkan itu tidak terjadi. Dia masih bisa bertahan dan berjalan menuju sebuah ruangan. Dia menutup pintunya perlahan. Dan aku pun mengendap-endap mendekati pintu itu. aku berniat masuk, tapi hal itu ku urungkan dan aku memilih berdiri di balik tembok dekat pintu.

                “Dokter, bisa beri aku obat lagi? Obatku tertinggal. Dan perutku sakit sekali menusuk sampai ke punggung.” Aku mampu mendengar suara Joongki dari luar. Aku masih mencoba lebih menajamkan pendengaranku.

                “Kau sudah dalam kondisi jaundice. Kau harus beristirahat dan melakukan Radioterapi.” Aku mendengar suara dr. Lee dari dalam dengan jelas. ‘jaundice? radioterapi?’ aku mengulang kata-kata itu dalam hati mencoba mengingat apa itu. Dan betapa terkejutnya aku ketika aku mengingat pelajaran SMA ku tentang jaundice. Masa di mana Kanker telah menyebar dan bereaksi. Dan radioterapi adalah usaha untuk menghambat laju sel kankernya.

Shock! Tentu saja aku sangat shock. Darahku benar-benar terasa berhenti mengalir. Kaki dan seluruh persendianku terasa sangat lemas. namun aku tak bisa jatuh terduduk.

                Dadaku terasa sangat sesak. Wajahku memanas. Dan ku rasakan ada sesuatu yang mendesak di mataku. Tangisku pun pecah tertahan. Ku coba membekap mulutku agar aku tak berteriak dan menahan tangis.

                “Kenapa aku harus melakukan Radioterapi jika progonosis hanya 6%?” Suara Joongki terdengar lagi yang semakin membuat ku ingin meledakkan tangisku.

                ‘Progonosis 6%? apakah dia benar-benar akan mati?’ aku mencoba membekap mulutku sekuat tenaga mencoba menahan tangisku yang sudah pecah. Progonosis 6%? Itu artinya kesempatan hidupnya hanya 6% dan  94% dia akan mati? Pikiranku terus berkecamuk.

                CKLEK!

                Aku mendengar pintu terbuka. Aku berbalik spontan dan mendapati joongki yang tengah terkejut melihatku. Tangis yang sedari tadi ku coba tahan namun tak bisa akhirnya meledak begitu saja. Aku langsung menghambur memeluknya erat. Sangat erat. Aku sangat takut. Takut sekali.

                Ku rasakan dia membalas pelukanku dan berbalik memelukku sangat erat. Ku rasakan tubuhnya bergetar. Dia menangis. Namja tampanku menangis. Ya Tuhan… kenapa kau berikan cobaan ini kepadanya? Aku berusaha menenangkannya, namun aku tak bisa. Tangisku sendiri meledak.

                Aku ingin bersamanya. Namjaku… aku begitu mencintainya.

                “mana yang sakit eoh?” aku melepaskan pelukanku padanya dan langsung meraba perut nya yang sering dia keluhkan sakit. Aku beralih menyibakkan rambutnya, ku pegang pundaknya. Aku tak tau di mana letak sakitnya. Aku tak mampu menghentikan tangisku. Dengan terisak aku terus mencoba mencari di mana penyakit itu berada dengan merabanya.

                “Aku tak sakit. Jangan lakukan itu.” joongki menahan tanganku di sela tangisnya. Aku malah berbalik memukulinya.

                “kenapa kau jahat sekali? Kenapa kau hanya diam saja? Kenapa kau lakukan ini padaku?” aku tak berhenti memukulinya. Dia tak menghentikanku. Tangisnya semakin menjadi.

                “Mianhae…” kata itu meluncur dari mulutnya di sela isakannya dan menarikku dalam pelukannya lagi.

                “kenapa kau tak jujur padaku? Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.” aku masih mencoba memarahinya dan mengungkapkan perasaanku, meskipun aku kesulitan kata karena tangisku yang tak bisa berhenti.

                “Aku takut kau pergi dariku.” Kalimat bodoh apa yang keluar dari mulutnya itu? aku membencinya.

                “Apa kau bodoh? Bahkan aku akan mencintaimu meskipun ribuan tahun lamanya, lebih dari itu. aku akan tetap mencintaimu.” Ku eratkan pelukanku padanya. Sangat takut.

                Dia tak menjawab. Kami tenggelam dalam tangis dan isakan.

                “menikahlah denganku!” Ungkapku ketika kami telah tenang dan duduk di bawah pohon belakang yayasan. Ku lihat dia sedikit tersentak mendengar ucapanku.

                “Bo Young-ah…?”
                “Aku tau aku seorang perempuan. Tapi aku melamarmu. Menikahlah denganku.” Ucapku sembari menatap matanya dalam.

                “Kau tau hidupku takkan lama lagi? ‘Silent killer’ itu yang ku derita. Kanker paling mematikan ke dua di dunia. Progonosis hanya 6% untuk bertahan setidaknya 5 tahun ke depan jika memang Tuhan masih memberiku kesempatan hidup selama itu. tapi aku lebih parah dari itu. Jebal…”

                “Aku tak meminta oppa bercerita tentang penyakit itu. aku melamarmu. Aku hanya butuh jawaban iya darimu.” kataku mantap. Ku tatap Joongki dalam.

                “Bo Young-ah…”

                “Kita akan menikah besok eoh?” Aku tak pedulikan Joongki yang terus berusaha menggoyahkan hatiku.
                “Bo.._”
                “Jebal oppa… izinkan aku bersamamu.” Tangisku pecah lagi. Ku rasakan joongki menarikku dalam pelukannya.
                “Aku akan menikahimu.” Ucapnya kemudian sembari mengecup puncak kepalaku.
===

                Hari ini aku dan Joongki akan melangsungkan pernikahan. Tidak di gereja atau di mana pun. Kami melakukannya di Yayasan dengan saksi pendeta, Appa, eonnie, Sunggyu oppa, Song Appa ayah Joongki, beberapa Dokter di yayasan dan anak-anak di yayasan.

                Hanya sebuah pesta pernikahan kecil namun luar biasa. Aku hanya mengenakan gaun putih yang teramat sangat sederhana. Namun tampak berbeda dengan namjaku yang begitu tampan dengan setelan kemeja putihnya dalam balutan tuxedo hitam meskipun itu sangat sederhana.

                Sebuah janji pun terucap dari bibir kami. Yakin. Sangat yakin. Entah mengapa aku tak mengerti kenapa semua orang yang ada di sini menangis. Padahal aku begitu bahagia karena akhirnya aku bisa merasakan menjadi istri dan menjaganya selama hidupku.

                Cincin putih nan sederhana kini melingkar indah di jari manisku. Dia pun menciumku dalam pengakuan dosa ini. aku menatap sekilas Appa yang tengah menahan tangisnya ketika kami berjalan meninggalkan altar. Eonnieku menangis dalam pelukan Sunggyu Oppa. Song appa terlihat tegar meski ku tahu. Dia begitu menahan tangis.

                Aku beralih menatap joongki yang tangannya ku gamit kini tersenyum menatapku. Dia terlihat begitu tampan. Sangat tampan. Ya.. dia kini suamiku. Suami sahku.

                Sudah satu minggu setelah pernikahanku dengannya. Aku tampak sangat bahagia sekali. Aku bisa menatap wajahnya setiap menit bahkan setiap detik. Ya kami kini tengah berbulan madu di pantai di Busan. Aku tak berani mengambil jarak lebih jauh dari rumah mengingat kesehatannya yang semakin menurun.

                Terkadang perasaan takutku timbul lagi ketika aku mengingat ‘Silent killer’ penyakitnya. Aku selalu menangis ketika dia tengah tertidur. Kanker pancreas, kanker yang paling menakutkan. Kanker yang mayoritas di derita orang berusia lanjut ini kini diderita orang yang sangat ku cintai. Bahkan usianya tak genap 30 tahun. Aku terkadang merasa ini tidaklah adil. Tapi aku juga berfikir… ini pertanda Tuhan sangat menyayanginya dan menginginkannya berada di sisinya.

                “Bo Young-ah…” dia memanggil namaku lirih ketika aku mulai merebahkan diri di sampingnya.
                “Ne Oppa.” Aku langsung beringsut tidur di lengannya dan memeluknya.
                “Saranghae….” Ucapnya dan mengeratkan pelukannya padaku.
                “nado… saranghae oppa.” Dia kemudian mengecup puncak kepalaku pelan. Dan kami pun tertidur. Hingga pagi menjelang.

                “Uhuk… uhuk…” aku mendengar seseorang terbatuk ketika aku tengah menggosok gigi di kamar mandi. Aku langsung berlari keluar. Untung saja aku sudah selesai mandi pagi ini. betapa terkejutnya aku ketika ku dapati suamiku tengah mengeluarkan cairan kental dari mulutnya. Dia muntah-muntah.

                “Oppa… neo gwaenchana?” Air mataku serasa ingin menyeruak kembali ketika ku mengusap punggungnya perlahan berusaha mengurangi rasa mualnya.

                Dia terus saja muntah. Aku semakin takut.
                “Kita harus ke rumah sakit…” Aku bergegas mengambil ponsel berusaha menghubungi panggilan ambulance darurat.

                “Tolonglah cepat. Suamiku kritis.” Aku menangis ketika menelfon rumah sakit terdekat. Aku langsung menghambur ke arahnya lagi ketika pihak rumah sakit menyetujui menjemput kami.

                “Oppa… mana yang sakit?” Aku bingung tak tau apa yang harus aku lakukan. Dia tak menjawabku dan hanya memegangi perutnya. Kulitnya terlihat menguning. Aku sangat kacau. Aku mengacak-acak kantong obat yang kami persiapkan dari rumah. Aku mencari obatnya dengan tergopoh. Ntah kenapa aku mengacak-acaknya aku tak menemukannya. Tangisku semakin pecah. Aku semakin takut.
===

                Dokter sedang menanganinya. Aku terduduk lemas di depan pintu ruang ICU dengan tangis tertahan. Aku sangat ketakutan. ‘Tuhan… berikanlah aku kesempatan bersamanya sedikit lebih lama. Aku tahu Tuhan, engkau sangat menyayanginya sehingga kau ingin mengambilnya dengan cepat. Tapi ku mohon… beri aku kesempatan untuk bersamanya sedikit lebih lama.’ Do’a ku dalam hati tak pernah putus.

                “Ny. Song…” suara seorang dokter mengejutkanku. Dengan sigap ku usap air mataku dan bergegas berdiri menghadapnya.

                “Bagaimana suamiku dokter?” Tanyaku khawatir. Sangat khawatir.
                “Dia telah aku beri penahan rasa sakit, dan mulai tertidur. Bisakah Ny. Song ikut ke ruanganku?” tawar dokter itu.
                Sedikit kelegaan menyeruak di hatiku.

                “Boleh kah aku melihatnya terlebih dahulu?” ku tatap dokter itu penuh harap.
                “Silahkan!” ucapnya sembari tersenyum. Tanpa menunggu menit berikutnya aku langsung bergegas masuk ke ruangan putih itu.

                Tangisku pecah lagi ketika ku lihat dia terbaring lemah dengan tabung oksigen yang tersambung ke hidungnya.

                “Oppa…” aku hanya menggumamkan kata itu dan mencium keningnya pelan. Sebelum ku tinggalkan dia yang tengah tertidur untuk menemui dokter.

                “Ny. Song… maafkan kami. Sel kankernya telah menyebar ke struktur lokal. Darah di portalnya telah mengalami pembekuan. Whipple procedure untuk melakukan pengangkatan kepala pancreas dan duodenum untuk membuatkan Bypass pun sudah sangat terlambat. Kami hanya mampu meminta anda untuk menabahkan hati anda.”

                Aku hanya mampu menangis dalam ruangan itu mendengar penuturan dokter.

                “Kami tak dapat menentukan berapa lama dia akan bertahan. Mengingat kanker Pankreas adalah kanker yang sulit didiagnosa di awal gejala. Dan akan terlihat hingga mencapai stadium tertentu. Dan suami anda di perkirakan mengidapnya lebih dari setahun yang lalu.”

                Aku berharap tangisku akan segera habis agar aku tak mampu lagi menangis. Silent killer, penyakit yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Penyakit yang sangat langka di idap oleh seseorang di bawah 30 tahun. Penyakit yang menggerogoti tubuh orang yang kucintai secara perlahan.

                Aku berjalan limbung kea rah suamiku di rawat. Pikiranku kosong.

                “Bo Young-ah…” Aku sedikit terkejut dan berbalik arah untuk melihat siapa yang telah memanggilku.

                “Appaa….” Aku langsung berlari memeluk ayah mertuaku. Aku sangat butuh seseorang untukku mengadu. Ayah, ayah mertua, kakak dan Sunggyu Oppa pacar kakakku telah datang ke rumah sakit.
                Tangisku tak mampu ku tahan lagi.

                “Tenanglah….” Ayah mertuaku membelai rambutku lembut. Sedikit ketakutanku berkurang.
===

                “Jagiya…” aku yang tengah tertidur di sampingnya terbangun mendengar suara paraunya. Dia telah bangun dan membelai rambutku perlahan.

                “Oppa? Kau sudah bangun? Mau aku ambilkan minum?” aku mengusap pipinya yang tak lagi pucat, melainkan menguning… matanya pun terlihat menguning. Seandainya saja hidup dapat di tukar, aku ingin sekali menukar hidupku untuknya.

                Dia mengangguk pelan dengan senyum menyungging di bibirnya. Dengan segera ku ambilkan minum untuknya. Dengan penuh kasih ku bantu dia meneguk air putih itu secara perlahan.

                Ku usap rambutnya dan ku tatap matanya dalam. Aku tak tau lagi bagaimana aku menunjukkan rasa cintaku untuknya. Aku merasa aku masih belum mampu menunjukkannya.

                “Uljima…” dia bersuara parau dan tangannya berusaha mengusap butiran bening yang mengalir di pipiku. Ku genggam erat tangan itu danku rasakan betapa hangatnya tangan itu. ku cium tangan itu perlahan.

                “Aku tak mau kau menangis.”
                “Ani… aku tak menangis.” Aku mengusap air mataku dan menatapnya dalam.

                “Setelah kepergianku… menikahlah dngan pria yang lebih baik. Sudah cukup kau mencintaiku.” Ku lihat dia menitikkan air matanya.

                “Aniya… kau suamiku… satu-satunya suamiku. Aku sudah bilang padamu oppa, aku akan mencintamu meskipun beribu-ribu tahun lamanya bahkan lebih.” Aku menggeleng pelan. “Kau… akan ada di hatiku. Aku tak akan mampu menghapusnya.” Tangisku pecah lagi.

                Ku rengkuh wajahnya dan ku cium bibir pucatnya yang dingin. Aku benar-benar mencintainya.
                “Bawa aku pulang.”
                “Kau harus di sini… kau harus mendapat perawatan.” Ucapku parau di sela isak tangisku.
                “Ani… aku ingin pulang.” Dia menatapku penuh harap.

                “jamkanman eo… aku akan kembali lagi.” Ku lepaskan genggaman tangannya dan ku usap pipiku yang basah. Aku bergegas keluar ruangan menemui keluargaku yang telah menungguku.

                “Appa… dia ingin di bawa pulang.” Aku berkata pada ayah mertuaku.
                Ayahku berjalan mendekati ayah mertuaku dan menepuk pundak ayah mertuaku pelan.
                “kita bawa pulang seperti apa maunya.” Kata ayah mertuaku merengkuh kedua pipiku.

                Dua hari sudah dia berada di rumah, setiap hari dokter datang mengontrol keadaannya. Dan tentu saja… semakin memburuk. Setiap pagi dan sore pula aku membersihkan tubuhnya dngan mengelapnya. Mendandaninya setampan mungkin.

                Pagi ini aku telah selesai melakukan tugasku. Dokter pun telah selesai mengontrolnya. Perlahan ku bantu dia duduk di kursi roda. Ku tata selimut untuk menutupi kakinya agar tidak kedinginan. Kudorong kursi itu perlahan. Hari ini kami akan pergi ke yayasan di mana kami dulu bertemu dan kemudian menikah. Tempat itu menyimpan banyak kenangan tentangku dan dia.

                Ku buka sebuah pintu di ruangan di sudut yayasan perlahan.

                Dakkk…. Kertas kecil bertaburan di depan kami.

                “Saengil Chukka Hamnida…. Saengil Chukka hamnida… Saranghaneun Uri Joongki… saengil chukka Hamnida….” Anak-anak dan dokter telah berkumpul… keluargaku juga berkumpul menyanyikan lagu itu.

                Dia membelalakkan matanya terkejut dan kemudian tersenyum. Ya… aku telah membuat kejutan ulang tahun untuknya. Hari ini tepat 29 tahun usianya. 7 bulan setelah pertemuan kami. Dan 1 bulan setelah pernikahanku dengannya. Berarti hampir 3 minggu dia berada di rumah sakit.

                “Saengil Chukka hamnida oppa…” Aku beralih berlutut di depannya. Ku gapai tangannya dan kucium hangat.

“Goamwo jagiya…” ucapnya sendu menatapku. Aku ingin memberikan kejutan untuknya.

                Dia yang biasanya memainkan piano, kini giliranku memainkan Gitar untuknya. Ku ambil gitar yang berada di dekat piano. Aku duduk dengan tenang dan mulai memetik senarnya perlahan. Dan kunyanyikan lagu yang menggambarkan isi hatiku untuknya.
               
                Heart beats fast
                Colours and promises
                How to brave
                How can I love when I’m afraid to fall
                But watching you stand alone
                All of my doubt
                Suddenly goes away somehow

                One step closer…

                I have died everyday waiting for you
                Darling don’t be afraid I have loved you
                For a thousand years
                I’ll love you for a thousand more

                Time stands still
                Charming in all he is
                I will be brave
                I will not let anything take away
                What’s standing in front of me
                Every breath
                Every hour has come to this

                One step closer…

                I have died everyday waiting for you
                Darling don’t be afraid I have loved you
                For a thousand years
                I’ll love you for a thousand more

                And all along I’ll believe I would find you
                Time has brought your heart to me
                I have loved you for a thousand years
                I’ll love you for a thousand more….

                Ku akhiri petikan laguku. Ku tatap wajahnya yang terus tersenyum ke arahku. Ku lihat sekilas semua orang di ruangan ini menangis. Tapi tidak denganku. Entah kenapa hatiku begitu tegar saat ini meskipun ingin sekali aku menangis.

                Jaehee eonnie mendorong kursi roda joongki perlahan ke arahku. Joongki membuka tangannya memberikan isyarat ingin memelukku. Ku letakkan gitarku dan aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Dan kini pertahananku runtuh juga.

                “Gomawo jagiya… jeongmal gomawo.” Peluknya erat.
                Aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya mengeratkan pelukanku saat ini.

                Malam pun menjelang. Ku rebahkan tubuh joongki ke atas tempat tidur kami dan ku ambil selimut untuknya. Aku beringsut tidur menghadapnya dan memeluknya.

                “Bo Young-ah… kalau aku masih diberi waktu lama untuk bersamamu… aku ingin kau memberiku anak-anak yang manis sepertimu.” Ucapnya membelai rambutku.

                “Oppa bicara apa? Tentu saja kau akan hidup lebih lama. Sangat lama. Seribu tahun lagi kau akan tetap hidup. Dan tentu saja kita akan mempunyai anak-anak yang lucu.” Aku sedikit mendongak untuk menatap matanya.

                “Aku mencintaimu…. Sama sepertimu. Aku mencintaimu sejak seribu tahun lalu…. beribu-ribu tahun berikutnya bahkan lebih dari itu.” ucap Joongki parau ke arahku.

                “Khaa… nado oppa… nado…” ku elus pipinya, ku raba mata indahnya, hidungnya, bibirnya….

                “Aku ingin tidur dalam pelukanmu….” Ucapnya kemudian.

                “Cha…” aku yang semula tidur dalam pelukannya beringsut duduk menghadapnya. Ku cium bibir pucatnya pelan dan ku raih dia dalam pelukanku yang sedikit terduduk di sandaran tempat tidur kami.

                “nyanyikan aku lagu waktu itu….” ucapnya dalam pelukanku.
                “Tidur lah aku akan menyanyikannya.” Ucapku sembari tersenyum menatap wajahnya yang mulai menutup mata.

                “Hm… aku akan tidur…” ucapnya dengan mata tertutup.

                Sebelah tanganku memeluk sembari membelai rambutnya dan sebelah tanganku melingkar di dadanya yang dipegang erat tangannya. Aku mulai mulai bersenandung lirih…
               
                I have died everyday waiting for you
                Darling don’t be afraid I have loved you
                For a thousand years
                I’ll love you for a thousand more

                And all along I’ll believe I would find you
                Time has brought your heart to me
                I have loved you for…
               
                Nyanyianku terhenti ketika ku rasakan genggaman tangannya mulai memudar. Aku tercekat. Aku serasa ingin menjerit.

                “Tidurlah oppa… tidurlah dengan damai…. Aku mencintaimu…” Ucapku parau dan tangan itu pun akhirnya terjatuh melepaskan tanganku.

                Aku semakin mengeratkan pelukanku. Ku cium keningnya. Aku pun menangis tertahan.

                Dia…. Telah tertidur…. Tidur untuk waktu yang sangat lama…
               
                Aku telah mencintaimu dari beribu-ribu tahun yang lalu, maka aku akan mencintaimu untuk beribu-ribu tahun lagi bahkan lebih dari itu….
===

                Dear my beloved Husband…
                Sebulan kemudian… dokter memberikan sebuah kabar untukku. Kabar yang membuatku tak tau harus menangis atau bersedih… kabar bahwa telah tumbuh sesuatu yang kau inginkan… aku mengandung anakmu. Dia telah berumur 6 minggu di dalam tubuhku. Aku akan membesarkannya mekipun aku sendirian. Dan kau akan tetap menjadi suamiku meskipun terpisah ruang dan waktu. Selamanya Aku akan mencintaimu. Dan kau tetap suamiku.
*FIN*