Kamis, 24 Oktober 2013
Selasa, 15 Oktober 2013
FF PROMISE | BoKi (Song Joongki - Park Boyoung) | Romance, Sad, Tragic & Gado-Gado
PROMISE
Author : Yonggyu90
Main Cast : Song Joongki, Park Boyoung
Spc. Cast : Park Jaehee (OC) and others.
Genre : Romance, sad, tragic, Gado-gado (campur aduk
maksudnya) xD
Rate :
PG 15+
Length : Oneshot
Note :
this Fanfic Inspire by A Thousand Years - Christina Perri, but this isn’t a
Songfic^^~
Bacanya
sambil dengerin lagu ini ne… mian dengan banyaknya thypo xD
Disclaimer : This story is mine. No plagiarism. J
===
Awalnya
aku tak mengerti kenapa Park Jaehee eonnie senang sekali melakukan charity
event. Dia lebih senang menghabiskan uang jajan bulanannya untuk mengikuti
acara amal. Sangat berbeda denganku yang sering menghabiskan uangku untuk
bersenang-senang. Membeli CD idolaku, membeli benda-benda yang kata eonnie dan
appa itu tidak begitu penting. Jelas saja Jaehee eonnie menuruni sifat appa
yang rendah hati dan penyayang. Appa juga senang beramal dan berbagi. Mungkin
sifatku ini turunan dari Eomma kami yang sudah meninggal sejak melahirkanku.
Padahal…
uang jajan yang hanya 50.000 won perbulan itu sangat disayangkan jika diberikan
kepada yayasan secara Cuma-Cuma.
“Kau
harus ikut dengan eonnie agar kau tau kenapa eonnie senang melakukannya.”
Jawabnya ketika ku Tanya kenapa dia senang sekali membuang uangnya untuk acara
amal.
Dan
seperti pagi ini, aku melihatnya memasak begitu banyak makanan di dapur.
“Wuah..
eonnie memasak sebanyak ini untuk apa?” tanyaku seraya membantunya mengiris
wortel.
“Kau
lupa? Kan eonnie kemarin sudah bilang ingin pergi ke Cancer foundation.” Jawabnya
dengan tetap serius melakukan
kegiatannya.
“Tapi
kan biasanya eonnie hanya membawakan mereka buah? Kenapa hari ini memasak?” Aku
masih ingin tahu kenapa dia mau repot-repot bangun pagi dan memasak sebanyak
ini.
“Eonnie
ingin merasakan sedikit perjuangan.” Jawabnya sambil tersenyum ke arahku. Aku
hanya bingung tak mengerti.
Setelah
berkutat cukup lama di dapur, akhirnya pekerjaan memasak ini selesai juga. Aku
menatanya dengan sangat rapi di kotak makan yang sudah di sediakan jaehee eonnie
selagi dia bersiap-siap di kamarnya.
“Bo
Young-ah….!” Jaehee eonnie keluar kamarnya tergesa-gesa ke arahku yang tengah
menata kotak makan.
“Waeyo?”
“Sunggyu
Oppa tak bisa menjemput hari ini. katanya ada masalah urgent. Bisakah kau
mengantarku? Jebal?” Dia memelas ke arahku. Aku bingung tak tau harus apa. Aku
sedikit mendesah. Kenapa Sunggyu oppa pacar kakakku harus sibuk di akhir pekan
seperti ini.
“Eonnie
bawa mobil appa saja. Aku sedang malas sekali.” Jawabku ogah-ogahan. Bisa
dibayangkan betapa membosankannya berada di tempat seperti itu? aku putuskan
aku tak mau.
“Bo
Young-ah… jebal. Eonnie tak mungkin mengangkut makanan sebanyak ini sendirian
dari mobil? Andai saja appa sudah pulang dari rumah kakek di Busan pasti aku
akan meminta appa yang mengantar. Sekali ini saja eoh?” terlihat tatapan penuh
harap dari mata jaehee eonnie. Dan ini yang paling aku benci. Aku paling benci
melihat eonnie yang berperan sebagai ibu bagiku menatapku seperti ini.
“Araseo…
aku akan bersiap.” Ucapku kemudian. Dan akhirnya dia pun tersenyum senang ke
arahku. ‘kau tau eonnie… senyummu itu hidupku.’ Batinku.
“Gomawo…!”
dia langsung menghambur di pelukku.
“ne…
Gomapda!” ucapku membalas peluknya sebelum aku beranjak ke kamar untuk bersiap.
Lima
belas menit kemudian aku telah selesai dan berjalan membantu eonnie ku yang
sudah mulai mengangkut makanan itu ke mobil. Setelah semua masuk ke mobil, kami
pun berangkat ke Cancer foundation. Dari namanya aku sudah tau ini adalah
Yayasan kanker. Aku tak bisa membayangkan seperti apa suasana di sana.
“Nahhh…
akhirnya sampai juga.” Serunya saat mobil kami berhenti di parkiran sebuah
gedung kecil yang lebih mirip sebuah rumah.
Aku
keluar mobil dan menatap gedung di depanku itu. sepi. Di depan terdapat dua
pilar yang menyangga sebuah board bertuliskan Korean Cancer Foundation.
Meskipun kecil, tapi gedung itu terlihat bersih dan rapi. Beberapa pohon maple
tertanam indah di halaman.
“Hey..
kenapa bengong saja? Bantu eonnie.” Teriak Jaehee eonnie yang mulai
mengeluarkan makanan dari dalam mobil.
“Oh…
ne,” aku bergegas membantunya. “Eonnie-ya… kenapa sepi sekali?” tanyaku
penasaran.
“Eoh…
mungkin mereka sedang mendengarkan Joongki bermain piano.” Jawab eonnie.
Aku
hanya meng-oh pelan. Meskipun aku sendiri tak tau siapa joongki itu.
Aku
berjalan menyususri koridor yang begitu sejuk sambil membawa makanan yang telah
kami bawa dari rumah. Ntah mengapa aku mulai menyukai udara di tempat ini.
menyejukkan. Dan begitu tenang.
“Hey…
kau mau ke mana?” Suara eonnie mengejutkanku. Aku langsung tersadar jika aku
kini berjalan di arah yang salah. Aku terkikik pelan mengingat kebodohanku. Aku
melamun sampai tak memperhatikan jalan kakakku.
Aku
sedkit mengejarnya yang berada di depanku. Samar-samar aku mendengar alunan
piano yang begitu membiusku. Aku menyukainya. Inilah hal pertama yang ku
rasakan ketika mendengar alunan piano itu. suara piano itu sangat indah dan
terdengar tulus. Kami kemudian memasuki ruangan di mana suara piano itu
berasal.
Mataku
langsung terpaku pada seseorang yang memainkan piano itu. entah mengapa aku
merasa wajahnya begitu teduh dan menyenangkan. Senyumnya membuatku sulit
bernafas mengembang begitu saja membuatku terpaku tak mampu bergerak lebih.
Kami hanya mematung di pintu menunggu lagu itu selesai dimainkan dan tentu saja
kami sangat menikmati pertunjukkan sederhana itu.
Lagu
yang dimainkannya begitu hangat… dan menyentuh…
Tiba-tiba
suara tepuk tangan riuh mengejutkanku yang tengah tertegun menikmati alunan
lagu itu.
“Anyeong…..”
eonnie menyapa mereka sembari mengangkat beberapa plastic yang kami bawa.
“Anyeong….”
Jawab mereka yang ada di dalam serempak membuat bulu kudukku semakin meremang.
Deg!
Jantungku
seolah berhenti berdetak ketika aku menatap mereka satu persatu. Hanya ada
sekitar 15 anak di sana, mataku terus saja menatap mereka satu persatu dari
kiri ke kanan. Aku masih berdiri mematung
tak percaya dengan apa yang aku lihat. Anak-anak yang begitu polos
penderita kanker.
“jaehee
nuna, itu siapa?” seorang anak yang tengah duduk di kursi roda menanyakanku
kepada jaehee eonnie.
“Eoh…
ne, aku sampai lupa. Ini adikku Park boyoung.” Aku sedikit tersentak ketika
eonnie menyebut namaku.
“Anyeong…”
aku membungkuk menyapa mereka.
Satu
persatu ku teliti wajah mereka. Aku serasa ingin menangis. Mereka ada yang
duduk di kursi roda, ada yang kepalanya tak terdapat sehelai rambut pun. Dan
akhirnya mataku pun bertemu dengan mata namja yang tadi bermain piano dengan
tersenyum dan membungkuk ke arahku pelan. Dengan ragu-ragu ku balas membungkuk
padanya.
Dia
bangkit berdiri dan berjalan ke arahku.
“Boleh
aku bantu?” sapanya sambil mengambil kotak makan yang aku bawa. Aku hanya
tertegun menatapnya. Senyumnya begitu hangat. Ntah mengapa aku suka sekali
melihat senyum itu.
Aku
hanya menatap namja itu yang kini tertawa dan makan bersama anak-anak lainnya.
“Eonnie…
ikutlah bersama kami…” seorang gadis kecil tiba-tiba meraih tanganku dan
menarikku untuk duduk bersama mereka. Kakakku terlihat sibuk dengan beberapa
anak lain dan menyuapinya. Aku tak menyadari jika aku ditarik dan duduk di
samping namja itu.
“Song
joongki imnida.” Namja itu mengulurkan tangan ke arahku.
“Park
Boyoung imnida, senang bertemu denganmu.” Aku mengangguk pelan ke arahnya yang
tersenyum manis.
“nuna…
makanlah…!” seorang anak laki-laki yang tengah duduk di kursi roda
mengejutkanku yang tengah menatap
Joongki.
Dia
berusaha menyuapiku. Matanya begitu sayu, bibirnya pucat, tubuhnya sangat
kurus. Tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Sekuat tenaga aku menahan
hatiku yang terasa sangat berat karena ingin menangis. Perlahan aku
mendekatinya dan membuka mulutku. Dia begitu senang. Ya Tuhan… aku sudah tak
tahan lagi. Aku berlari keluar dan terduduk menangis di bawah pohon.
Aku
membayangkan betapa sakit yang mereka rasakan. Bahkan mereka tak tau sampai
kapan mereka akan bertahan hidup. Namun mereka masih tersenyum dan bermain
seperti itu. pikiran iba terus berkecamuk di kepalaku. Tangisku tak dapat ku
tahan. Sekarang aku tau alasan kenapa appa dan kakakku begitu suka melakukan
hal ini. mereka ingin melihat dunia tersenyum. Mereka ingin berbagi kebahagiaan
dengan mereka meskipun itu hanya secuil.
“Uljima!”
sebuah tangan memegang pundakku. Aku tersentak dan dengan cepat ku hapus air
mataku dan menatap Joongkiyang tengah beralih
duduk di sampingku.
“Aku
tak menangis.” Kilahku.
“Hey…
mereka itu bahagia. Kau jangan khawatir.” Ucapnya seolah menenangkanku.
Entah
mengapa perkataan namja ini begitu menenangkan. Dan sepertinya… mulai detik ini
aku benar-benar menyukainya.
===
Sejak
saat itu aku senang sekali bermain ke sana. Ketika eonnie sibuk, Joongki dengan
senang hati akan menjemputku dan membawaku ke sana. tak terasa ternyata sudah 5 bulan aku
mengenalnya. Dia pria yang baik, jujur aku semakin tertarik padanya. Bagaimana
dia memperlakukan anak-anak di yayasan itu membuatku semakin mengaguminya. Tak
pernah ku lihat kesedihan di matanya.
Joongki
ternyata adalah suka relawan yang setiap akhir pekan menghibur anak-anak di
yayasan. Eonnie bilang, sudah hampir satu tahun dia melakukan kegiatannya itu.
Ibunya telah meninggal karena terserang kanker.
Itulah yang membuatnya menyayangi anak-anak dan rela menjadi penghibur
di yayasan meskipun dia tidak mendapatkan bayaran.
Seperti
biasanya, ketika akhir pekan Joongki akan bermain piano di sana dan tentu saja
kini aku selalu menemaninya. Aku memangku seorang gadis kecil berusia 7 tahun
yang ternyata mengidap kanker hati stadium lanjut. Kami begitu menikmati
permainan piano joongki yang terasa memberi kami semangat.
“Dia…
sudah tak bisa di tolong lagi. Transplantasi hati sudah terlambat untuk di
lakukan.” Kata-kata joongki waktu itu terngiang di telingaku. aku begitu
ketakutan dan mendekap Ahra yang aku pangku dengan erat.
“Uhuk-uhuk…”
tiba-tiba ahra terbatuk dan memuntahkan cairan merah sedikit kental.
“Darah?”
aku bergumam, ahra memuntahkan darah di pangkuanku. “Oppa…!” pekikku ketakutan
melihat Ahra dan mencoba membersihkan mulut Ahra yang terus saja memuntahkan
darah.
Sontak
Joongki menghentikan kegiatannya dan berlari ke arahku. Dengan sigap dia
membopong Ahra dan berlari menuju ruangan yang berada di ujung lorong.
Ketakutan mulai menyelimutiku. Aku mengejar Joongki dengan tangis tertahan.
Aku
begitu khawatir sehingga aku ingin ikut Joongki masuk, namun seorang perawat
mencegahku. Sehingga aku hanya mampu menangis dengan harap-harap cemas di depan
pintu.
“Aku
takut.” Aku langsung menghambur ke pelukan Joongki ketika dia keluar dari
ruangan itu.
“Ini
memang saatnya, kita harus mengikhlaskan dia.” Ucap Joongki lembut memelukku
yang semakin membuatku menangis terguguk ketakutan.
Dan
benar saja, Ahra pergi.
Aku
begitu menyesal kenapa aku tak mengenal Ahra lebih awal sehingga aku bisa
menghiburnya. Apa lagi setelah ku tahu, Ahra di tinggalkan orang tuanya di
yayasan ini ketika mengetahuinya mengidap kanker. Dan tanpa menjenguknya hingga
sekarang.
===
“Sudah
jangan terus bersedih, semua orang nanti juga akan pergi ke sana.” Ucapnya
sambil mencubit hidungku dalam perjalanan pulang dari yayasan seminggu setelah
Ahra pergi.
“Aishh…
kenapa oppa suka sekali mencubit hidungku?” kesalku. Meski begitu ini yang
selalu membuatku merindukan namja ini.
Dia
hanya terkikik pelan dan mencubitku lagi.
“yaa…!!!”
teriakku ketika dia berlari karena tau aku akan mengamuk dan memukulinya dengan
tasku. Aku pun langsung mengejarnya. “Oppa… awas kau!” teriakku.
“Kejar
saja jika kau bisa!” dia berbalik dan menjulurkan lidah padaku yang membuatku
semakin geregetan.
“baiklahhh…..”
ku percepat lariku mengejarnya. Namun secepat apapun ku berlari dan hampir
menangkapnya dia selalu bisa mengelak dan membuatku semakin sebal.
“Aku
yang menangkapmu.” Teriaknya ketika mendekap ku dari belakang.
BRUGH!
Dia
menghempaskan tubuh kami di atas rerumputan tebal. Kami berbaring menatap
langit dengan sisa-sisa tawa dan deru nafas yang memburu karena berlari-larian.
Aku fikir ini lucu seperti anak kecil saja. Dia masih tertawa menatap langit
yang hari itu cerah dan tidak menyilaukan. Ku tolehkan pandanganku padanya,
menatapnya yang tengah tersenyum dan berbaring di sampingku. Deru nafas kami
masih memburu karena kelelahan.
Ingin
sekali ku katakan aku mencintainya. Namun entah mengapa mulut ini seolah
terkunci. Mungkin dia hanya menganggapku sebagai adik. Aku tak mau jika aku
jujur dan ternyata itulah jawabannya. Pasti akan terasa sangat sakit.
“Wae???”
dia menoleh ke arahku yang terus menatapnya.
Aku
hanya terdiam menikmati wajah manisnya. Secara tak sadar tanganku bergerak
mengusap pipinya perlahan. Dia tak menolak dan hanya terdiam menatapku. Matanya
begitu indah dan meneduhkan. Aku mau jika terus menatapnya semalaman meskipun
aku harus tidak berkedip. Di saat pikiranku tengah mengembara entah ke mana,
dengan tiba-tiba dia memegang tanganku yang mengusap pipinya dan mendekatkan
wajahnya kepadaku membuatku terpaku.
Jantungku
serasa meledak. Aliran darahku serasa berhenti. Ketika ku mersakan sesuatu yang
lembut menyentuh bibirku. Aku hilang kesadaran. Aku masih tertegun tak percaya
dengan apa yang terjadi denganku. Mataku masih melebar dan tak mampu berkedip
karena tak mampu mempercayai apa yang tengah terjadi.
Dan ku
rasakan sesuatu yang lembut itu mulai memudar di bibirku. Wajahnya mulai
menjauhi ku perlahan. Dia menatapku dalam dan menggenggam erat tanganku yang
tadi mengusap pipinya.
“Ayo
kita pulang!” dia membuka suara dan tersenyum ke arah ku.
“Eoh..”
dan aku pun mulai mendapatkan kembali kesadaranku.
Dia
beranjak berdiri kemudian mengulurkan tangannya padaku agar aku menggapainya
untuk mempermudah ku berdiri.
Kami
hanya terdiam dalam perjalanan pulang. Sesekali aku meliriknya yang tengah
memegang tanganku. Aku merasa canggung dengan apa yang baru saja terjadi. Ku
lihat senyum terukir di wajahnya dan membuatku mengembangkan senyum tertahan.
Senang.
“Masuklah!”
perintahnya ketika telah sampai di depan rumahku dengan senyum yang masih
mengembang. Dia kemudian melepaskan genggaman tangannya pada tanganku perlahan.
“Oppa
tidak masuk dulu? Minum teh?” Rajukku padanya.
“lain
kali saja.” Jawabnya sembari tersenyum.
Namun
aku merasakan ada yang aneh dengan senyumnya. Alisku pun berkerut karena merasa
ada yang salah dengan dirinya.
“Kenapa
Oppa terlihat sangat pucat?” tanyaku pada akhirnya. Ya, dia terlihat sangat
pucat. padahal tadi pagi dia masih terlihat begitu ceria dan cerah.
“Aku?
Pucat?” tanyanya sedikit terkejut. “Eoh.. mungkin karena kelelahan. Baiklah
kalau begitu… aku permisi dulu.” Dia mengusap pipiku pelan dan berbalik pergi
dari hadapanku. Setelah kepergiannya aku langsung berlari ke dalam rumah dengan
senyum mengembang tentunya.
“Eonnie….”
Aku berteriak langsung masuk ke dalam kamar kakakku.
“Waeyo?
Kau terlihat senang sekali.” Sepertinya kakakku satu-satunya itu mencium bau
yang tidak beres padaku.
“Aku
mencintainya! Ya Tuhan aku sungguh mencintainya.” Aku langsung menghambur
memeluk kakak perempuanku itu.
Sepertinya
kakakku masih belum mengerti karena dia hanya membalas pelukanku dan hanya tertegun.
“Apa
yang kau maksud Joongki?” tanyanya kemudian membelalakkan matanya.
“Siapa
lagi? Dialah teman pria yang dekat denganku.” Aku masih tak bisa menyimpan
perasaan hatiku yang meledak-ledak.
“Aigooo….
Adikku akhirnya jatuh cinta juga.” Dia memelukku hangat.
Lama
aku berada di kamar kakakku untuk menceritakan semua yang ku alami. Dan kakakku
Nampak terkejut tak percaya. Tentu saja, bahkan Sunggyu Oppa pacarnya tidak
seromantis itu. namun kemudian aku memikirkan sesuatu setelah aku kembali ke
kamar.
Aku
duduk di jendela dan menghadap ke langit karena malam mulai datang. Terkadang aku tertawa dan menyentuh bibirku ketika
mengingat kejadian sore itu, namun tiba-tiba aku terdiam. ‘Kenapa dia
menciumku? Apa karena dia mencintaiku? Tapi kenapa dia tidak menyatakan
cintanya padaku jika itu benar?’ hatiku terus bergejolak tak karuan.
Tringgg…
Bunyi
ponsel mengejutkanku yang tengah gundah. Sepertinya ada sebuah pesan masuk. Aku
pun berjalan mengambil ponsel yang berada di ranjangku. Betapa senangnya aku
ketika aku mengetahui pesan itu darinya. Dari namja yang telah mencuri hatiku.
Ingin rasanya aku meloncat kegirangan.
‘Gomawo…
^^’
Sebuah
pesan yang begitu singkat namun tentu saja membuat hatiku semakin meledak. Apa
itu artinya tentang kejadian sore tadi? Ntah lah, yang jelas karena aku terlalu
senang, aku langsung membalasnya.
‘eoh…
jangan lupa makan malam^^’
Balasku.
5 menit, 10 menit sampai satu jam aku menunggu balasannya. Namun tak ada sama
sekali sampai aku tertidur.
===
Tiga
hari berlalu aku baru bertemu dengannya. Dia terlihat sangat lesu. Dia terlihat
pucat dan matanya terlihat sedikit sayu kekuningan.
“Oppa…
apa kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
“Tentu
saja, memangnya kenapa?” dia sedikit aneh mendengar pertanyaanku.
“Aniya…”
aku menggeleng pelan. Namun perasaan khawatir itu terus saja berkecamuk.
Hari
itu dia begitu berbeda dengan biasanya. Dia terlihat sangat lelah dan lesu.
“Mau
menemaniku?” tanyanya kepadaku ketika aku menyuapi seorang anak laki-laki
penderita kanker otak di yayasan.
“Eodiga?”
tanyaku ingin tahu.
“nanti
kau akan tau.” Jawabnya seraya tersenyum.
Akhirnya
aku pun menerima ajakan untuk menemaninya. Kami berjalan beriringan sambil
sesekali bercanda. namun tak dapat ku pungkiri aku sedikit merasa lelah
berjalan. Dia menatapku sekilas kemudian menghentikan langkahku dan berjongkok
di depanku.
“Wae???”
Aku terkejut mendapatinya menghadangku dengan berjongkok.
“Naiklah…”
perintahnya.
Aku
bimbang. Mana mungkin aku menuruti keinginannya sedangkan dia dalam keadaan
tidak fit seperti itu. karena aku hanya terdiam, akhirnya dia menarik tanganku
dan membuatku memeluknya yang tengah berjongkok. Perlahan dia berdiri dan aku
pun kini berada digendongannya.
“Oppa…
kau tau, kau mengingatkanku pada masa kecilku.” Aku membuka pembicaraan.
“Hm…
bagian mana yang membuatmu mengingat kenangan itu?” tanyanya dengan sedikit menoleh
ke arahku yang berada digendongannya.
“ini.
kau menggendongku.” Jawabku malu-malu dan menyembunyikan wajahku di pundaknya.
Dia
terkekeh pelan. “Aku akan menggendongmu selama aku masih mampu.” Ucapnya yang
membuatku semakin tersipu malu. “Tapi aku tak berani melakukannya jika kau
sudah punya pacar.” Ucapnya lagi yang membuat hatiku mencelos.
Jadi?
Apa maksudnya ini? apa dia hanya menganggapku sebagai adiknya saja? Lalu kenapa
dia menciumku waktu itu? aku hanya terdiam mencermati kata-katanya.
“lihatlah…
kita sudah sampai.” Ucapnya kemudian menyadarkanku dari fikiran-fikaran yang terus
membayangi.
“danau?”
tanyaku padanya setelah dia menurunkanku dari gendongannya.
“eoh…
aku ingin sekali pergi ke sini. Namun aku takut jika sendirian.” Tawanya
meledak kemudian.
“Aishh…
kan banyak .” Ucapku sembari berkedip ke arahnya.
“Tidak…
aku hanya ingin ditemani oleh mu.” Jawabnya yang membuatku semakin bingung.
Ingin
sekali aku berteriak dan bertanya padanya. ‘Sebenarnya kau anggap aku ini
sebagai apa?’ namun tak bisa. Mulutku seolah terkunci.
“kau
percaya dengan kehidupan kedua?”
“Ye?”
aku heran dengan pertanyaan konyolnya.
“Ya,
kehidupan kedua. Apa kau mempercayainya?” tanyanya lagi.
“Aku...
tak tau kehidupan kedua itu ada atau tidak. Tapi aku berharap. Jika nanti ada
kehidupan kedua, aku ingin bertemu denganmu lagi.” Ucapku yang membuatnya
sontak menoleh ke arahku.
“Semoga
saja kita bisa bertemu. Dan takdir memberikan jalan lain. Tidak seperti saat
ini.” dia berkata dan menatap ujung danau nan jauh di sana. Dan ini semakin
membuatku bingung. ‘Takdir memberikan jalan lain’ apa lagi ini maksudnya?
“Ahss…”
tiba-tiba dia merintih memegangi perutnya.
“Ya
oppa, neo gwaenchana?” tanyaku khawatir melihatnya.
“Gwaenchana,
aku hanya sedikit mag.” Jawabnya sembari tersenyum.
Dia
terlihat lebih pucat dari kemarin. Ahh.. dia sakit mag.
“Kenapa
bisa terkena Mag?” tanyaku sedikit memarahinya. “Kau pasti sering lupa makan.”
Aku memukul pundaknya pelan karena geregetan.
“Eoh…
aku terlalu sibuk.” Kilahnya. “tenang.. ini tak apa-apa.” Pungkasnya lagi. “Kita
naik perahu? Aku yang mendayung.” Dia menarik tanganku untuk berlari pelan
menuju sebuah perahu kosong.
Dia
naik duluan ke perahu, dan mengulurkan tangannya ke arahku untuk membantu ku
naik. Perlahan dia mulai mendayung. Pandanganku tak lepas dari wajahnya yang
melihat pemandangan sekitar.
Dia
mengalihkan pandangannya ke arahku dan menghentikan kegiatannya setelah sedikit
berada di tengah danau. Aku mencoba mengalihkan perhatianku.
“Apa
aku terlalu tampan sampai kau melihatku seperti itu?” Tanya sembari sedikit
menggodaku.
Jujur saja
iya. Kau tampan.
“Aishhh
jangan bercanda. Oppa tidak lebih tampan dari Appa ku.” Aku memeletkan lidahku
mengejeknya dan berusaha mengelak.
“Ahjussi?
Aishhh kenapa kau menyamakanku dengan Ahjussi? Itu tak adil. Jelas saja dia
lebih tampan dariku karena dia appamu.”
Dia terlihat sedikit cemberut. Aku tau dia hanya menggodaku.
Kcipak….
Aku
mencibakkan air ke arahnya.
“ya…”
Dia menggeram dan membalas dendam dengan mencibakkan air ke arahku. Aku pun
berteriak-teriak takut kegelian. Dan mulailah kami saling menyiratkan air. Kami
tertawa dan berteriak. Betapa senangnya aku bercanda dengannya. Kami pun
berbasah-basahan dan saling tertawa lepas.
Srettt….
Dia
menahan tanganku yang akan mencibak lagi. Dia menatapku dalam. Perlahan tangan
kirinya meraih pipiku dan mengusapnya pelan.
Denyut
jantungku serasa berhenti karena terlalu kencang berdetak. Aku terpaku
menikmati sentuhan lembut tangannya di pipiku. Entah sejak kapan wajah kami
menjadi begitu dekat. Hingga aku tak sadar jika kini aku memejamkan mata
merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Hatiku berdesir. Sentuhan itu
pun memudar dan beralih ke keningku membuatku tersadar dan membuka mata.
Ku
lihat dia tersenyum ke arahku. Senyum yang menjadi canduku.
===
Sejak
dia menciumku untuk yang pertama kali, hingga kini beberapa hari telah berlalu
dan aku mendapatinya terlihat pucat setiap kali bertemu dan dia semakin
terlihat kurus. aku merasa sangat khawatir dengannya. Aku takut jika dia
terkena Liver karena mag yang terlalu parah.
Seperti
biasanya, kami berada di yayasan dan bermain dengan anak-anak. Tiba-tiba dia
berkeringat dingin dan memegangi perutnya. Aku tau perutnya sedang sakit. Dia
berusaha pergi diam-diam ketika aku sedang bersenda gurau dengan anak-anak
lain.
Namun
dengan diam-diam pula aku mengikutinya karena aku takut jika dia nanti terjatuh
atau pingsan. Namun apa yang ku takutkan itu tidak terjadi. Dia masih bisa
bertahan dan berjalan menuju sebuah ruangan. Dia menutup pintunya perlahan. Dan
aku pun mengendap-endap mendekati pintu itu. aku berniat masuk, tapi hal itu ku
urungkan dan aku memilih berdiri di balik tembok dekat pintu.
“Dokter,
bisa beri aku obat lagi? Obatku tertinggal. Dan perutku sakit sekali menusuk
sampai ke punggung.” Aku mampu mendengar suara Joongki dari luar. Aku masih
mencoba lebih menajamkan pendengaranku.
“Kau
sudah dalam kondisi jaundice. Kau harus beristirahat dan melakukan Radioterapi.”
Aku mendengar suara dr. Lee dari dalam dengan jelas. ‘jaundice? radioterapi?’
aku mengulang kata-kata itu dalam hati mencoba mengingat apa itu. Dan betapa
terkejutnya aku ketika aku mengingat pelajaran SMA ku tentang jaundice. Masa di
mana Kanker telah menyebar dan bereaksi. Dan radioterapi adalah usaha untuk
menghambat laju sel kankernya.
Shock! Tentu saja aku sangat shock.
Darahku benar-benar terasa berhenti mengalir. Kaki dan seluruh persendianku
terasa sangat lemas. namun aku tak bisa jatuh terduduk.
Dadaku
terasa sangat sesak. Wajahku memanas. Dan ku rasakan ada sesuatu yang mendesak
di mataku. Tangisku pun pecah tertahan. Ku coba membekap mulutku agar aku tak
berteriak dan menahan tangis.
“Kenapa
aku harus melakukan Radioterapi jika progonosis hanya 6%?” Suara Joongki
terdengar lagi yang semakin membuat ku ingin meledakkan tangisku.
‘Progonosis
6%? apakah dia benar-benar akan mati?’ aku mencoba membekap mulutku sekuat
tenaga mencoba menahan tangisku yang sudah pecah. Progonosis 6%? Itu artinya
kesempatan hidupnya hanya 6% dan 94% dia
akan mati? Pikiranku terus berkecamuk.
CKLEK!
Aku mendengar
pintu terbuka. Aku berbalik spontan dan mendapati joongki yang tengah terkejut
melihatku. Tangis yang sedari tadi ku coba tahan namun tak bisa akhirnya
meledak begitu saja. Aku langsung menghambur memeluknya erat. Sangat erat. Aku
sangat takut. Takut sekali.
Ku
rasakan dia membalas pelukanku dan berbalik memelukku sangat erat. Ku rasakan
tubuhnya bergetar. Dia menangis. Namja tampanku menangis. Ya Tuhan… kenapa kau
berikan cobaan ini kepadanya? Aku berusaha menenangkannya, namun aku tak bisa.
Tangisku sendiri meledak.
Aku
ingin bersamanya. Namjaku… aku begitu mencintainya.
“mana
yang sakit eoh?” aku melepaskan pelukanku padanya dan langsung meraba perut nya
yang sering dia keluhkan sakit. Aku beralih menyibakkan rambutnya, ku pegang
pundaknya. Aku tak tau di mana letak sakitnya. Aku tak mampu menghentikan
tangisku. Dengan terisak aku terus mencoba mencari di mana penyakit itu berada
dengan merabanya.
“Aku
tak sakit. Jangan lakukan itu.” joongki menahan tanganku di sela tangisnya. Aku
malah berbalik memukulinya.
“kenapa
kau jahat sekali? Kenapa kau hanya diam saja? Kenapa kau lakukan ini padaku?”
aku tak berhenti memukulinya. Dia tak menghentikanku. Tangisnya semakin
menjadi.
“Mianhae…”
kata itu meluncur dari mulutnya di sela isakannya dan menarikku dalam
pelukannya lagi.
“kenapa
kau tak jujur padaku? Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.” aku masih mencoba
memarahinya dan mengungkapkan perasaanku, meskipun aku kesulitan kata karena
tangisku yang tak bisa berhenti.
“Aku
takut kau pergi dariku.” Kalimat bodoh apa yang keluar dari mulutnya itu? aku
membencinya.
“Apa
kau bodoh? Bahkan aku akan mencintaimu meskipun ribuan tahun lamanya, lebih
dari itu. aku akan tetap mencintaimu.” Ku eratkan pelukanku padanya. Sangat
takut.
Dia tak
menjawab. Kami tenggelam dalam tangis dan isakan.
“menikahlah
denganku!” Ungkapku ketika kami telah tenang dan duduk di bawah pohon belakang
yayasan. Ku lihat dia sedikit tersentak mendengar ucapanku.
“Bo
Young-ah…?”
“Aku
tau aku seorang perempuan. Tapi aku melamarmu. Menikahlah denganku.” Ucapku
sembari menatap matanya dalam.
“Kau
tau hidupku takkan lama lagi? ‘Silent killer’ itu yang ku derita. Kanker paling
mematikan ke dua di dunia. Progonosis hanya 6% untuk bertahan setidaknya 5
tahun ke depan jika memang Tuhan masih memberiku kesempatan hidup selama itu. tapi
aku lebih parah dari itu. Jebal…”
“Aku
tak meminta oppa bercerita tentang penyakit itu. aku melamarmu. Aku hanya butuh
jawaban iya darimu.” kataku mantap. Ku tatap Joongki dalam.
“Bo Young-ah…”
“Kita
akan menikah besok eoh?” Aku tak pedulikan Joongki yang terus berusaha
menggoyahkan hatiku.
“Bo.._”
“Jebal
oppa… izinkan aku bersamamu.” Tangisku pecah lagi. Ku rasakan joongki menarikku
dalam pelukannya.
“Aku
akan menikahimu.” Ucapnya kemudian sembari mengecup puncak kepalaku.
===
Hari
ini aku dan Joongki akan melangsungkan pernikahan. Tidak di gereja atau di mana
pun. Kami melakukannya di Yayasan dengan saksi pendeta, Appa, eonnie, Sunggyu
oppa, Song Appa ayah Joongki, beberapa Dokter di yayasan dan anak-anak di
yayasan.
Hanya
sebuah pesta pernikahan kecil namun luar biasa. Aku hanya mengenakan gaun putih
yang teramat sangat sederhana. Namun tampak berbeda dengan namjaku yang begitu
tampan dengan setelan kemeja putihnya dalam balutan tuxedo hitam meskipun itu
sangat sederhana.
Sebuah
janji pun terucap dari bibir kami. Yakin. Sangat yakin. Entah mengapa aku tak
mengerti kenapa semua orang yang ada di sini menangis. Padahal aku begitu
bahagia karena akhirnya aku bisa merasakan menjadi istri dan menjaganya selama
hidupku.
Cincin
putih nan sederhana kini melingkar indah di jari manisku. Dia pun menciumku
dalam pengakuan dosa ini. aku menatap sekilas Appa yang tengah menahan
tangisnya ketika kami berjalan meninggalkan altar. Eonnieku menangis dalam
pelukan Sunggyu Oppa. Song appa terlihat tegar meski ku tahu. Dia begitu
menahan tangis.
Aku
beralih menatap joongki yang tangannya ku gamit kini tersenyum menatapku. Dia
terlihat begitu tampan. Sangat tampan. Ya.. dia kini suamiku. Suami sahku.
Sudah
satu minggu setelah pernikahanku dengannya. Aku tampak sangat bahagia sekali.
Aku bisa menatap wajahnya setiap menit bahkan setiap detik. Ya kami kini tengah
berbulan madu di pantai di Busan. Aku tak berani mengambil jarak lebih jauh
dari rumah mengingat kesehatannya yang semakin menurun.
Terkadang
perasaan takutku timbul lagi ketika aku mengingat ‘Silent killer’ penyakitnya.
Aku selalu menangis ketika dia tengah tertidur. Kanker pancreas, kanker yang
paling menakutkan. Kanker yang mayoritas di derita orang berusia lanjut ini kini
diderita orang yang sangat ku cintai. Bahkan usianya tak genap 30 tahun. Aku
terkadang merasa ini tidaklah adil. Tapi aku juga berfikir… ini pertanda Tuhan
sangat menyayanginya dan menginginkannya berada di sisinya.
“Bo Young-ah…” dia memanggil
namaku lirih ketika aku mulai merebahkan diri di sampingnya.
“Ne
Oppa.” Aku langsung beringsut tidur di lengannya dan memeluknya.
“Saranghae….”
Ucapnya dan mengeratkan pelukannya padaku.
“nado…
saranghae oppa.” Dia kemudian mengecup puncak kepalaku pelan. Dan kami pun
tertidur. Hingga pagi menjelang.
“Uhuk…
uhuk…” aku mendengar seseorang terbatuk ketika aku tengah menggosok gigi di
kamar mandi. Aku langsung berlari keluar. Untung saja aku sudah selesai mandi
pagi ini. betapa terkejutnya aku ketika ku dapati suamiku tengah mengeluarkan
cairan kental dari mulutnya. Dia muntah-muntah.
“Oppa…
neo gwaenchana?” Air mataku serasa ingin menyeruak kembali ketika ku mengusap
punggungnya perlahan berusaha mengurangi rasa mualnya.
Dia
terus saja muntah. Aku semakin takut.
“Kita
harus ke rumah sakit…” Aku bergegas mengambil ponsel berusaha menghubungi
panggilan ambulance darurat.
“Tolonglah
cepat. Suamiku kritis.” Aku menangis ketika menelfon rumah sakit terdekat. Aku
langsung menghambur ke arahnya lagi ketika pihak rumah sakit menyetujui
menjemput kami.
“Oppa…
mana yang sakit?” Aku bingung tak tau apa yang harus aku lakukan. Dia tak
menjawabku dan hanya memegangi perutnya. Kulitnya terlihat menguning. Aku
sangat kacau. Aku mengacak-acak kantong obat yang kami persiapkan dari rumah.
Aku mencari obatnya dengan tergopoh. Ntah kenapa aku mengacak-acaknya aku tak
menemukannya. Tangisku semakin pecah. Aku semakin takut.
===
Dokter
sedang menanganinya. Aku terduduk lemas di depan pintu ruang ICU dengan tangis
tertahan. Aku sangat ketakutan. ‘Tuhan… berikanlah aku kesempatan bersamanya
sedikit lebih lama. Aku tahu Tuhan, engkau sangat menyayanginya sehingga kau
ingin mengambilnya dengan cepat. Tapi ku mohon… beri aku kesempatan untuk
bersamanya sedikit lebih lama.’ Do’a ku dalam hati tak pernah putus.
“Ny.
Song…” suara seorang dokter mengejutkanku. Dengan sigap ku usap air mataku dan
bergegas berdiri menghadapnya.
“Bagaimana
suamiku dokter?” Tanyaku khawatir. Sangat khawatir.
“Dia
telah aku beri penahan rasa sakit, dan mulai tertidur. Bisakah Ny. Song ikut ke
ruanganku?” tawar dokter itu.
Sedikit
kelegaan menyeruak di hatiku.
“Boleh
kah aku melihatnya terlebih dahulu?” ku tatap dokter itu penuh harap.
“Silahkan!”
ucapnya sembari tersenyum. Tanpa menunggu menit berikutnya aku langsung
bergegas masuk ke ruangan putih itu.
Tangisku
pecah lagi ketika ku lihat dia terbaring lemah dengan tabung oksigen yang
tersambung ke hidungnya.
“Oppa…”
aku hanya menggumamkan kata itu dan mencium keningnya pelan. Sebelum ku
tinggalkan dia yang tengah tertidur untuk menemui dokter.
“Ny.
Song… maafkan kami. Sel kankernya telah menyebar ke struktur lokal. Darah di
portalnya telah mengalami pembekuan. Whipple procedure untuk melakukan
pengangkatan kepala pancreas dan duodenum untuk membuatkan Bypass pun sudah
sangat terlambat. Kami hanya mampu meminta anda untuk menabahkan hati anda.”
Aku
hanya mampu menangis dalam ruangan itu mendengar penuturan dokter.
“Kami
tak dapat menentukan berapa lama dia akan bertahan. Mengingat kanker Pankreas
adalah kanker yang sulit didiagnosa di awal gejala. Dan akan terlihat hingga
mencapai stadium tertentu. Dan suami anda di perkirakan mengidapnya lebih dari
setahun yang lalu.”
Aku
berharap tangisku akan segera habis agar aku tak mampu lagi menangis. Silent
killer, penyakit yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Penyakit yang
sangat langka di idap oleh seseorang di bawah 30 tahun. Penyakit yang
menggerogoti tubuh orang yang kucintai secara perlahan.
Aku
berjalan limbung kea rah suamiku di rawat. Pikiranku kosong.
“Bo
Young-ah…” Aku sedikit terkejut dan berbalik arah untuk melihat siapa yang
telah memanggilku.
“Appaa….”
Aku langsung berlari memeluk ayah mertuaku. Aku sangat butuh seseorang untukku
mengadu. Ayah, ayah mertua, kakak dan Sunggyu Oppa pacar kakakku telah datang
ke rumah sakit.
Tangisku
tak mampu ku tahan lagi.
“Tenanglah….”
Ayah mertuaku membelai rambutku lembut. Sedikit ketakutanku berkurang.
===
“Jagiya…”
aku yang tengah tertidur di sampingnya terbangun mendengar suara paraunya. Dia
telah bangun dan membelai rambutku perlahan.
“Oppa?
Kau sudah bangun? Mau aku ambilkan minum?” aku mengusap pipinya yang tak lagi
pucat, melainkan menguning… matanya pun terlihat menguning. Seandainya saja
hidup dapat di tukar, aku ingin sekali menukar hidupku untuknya.
Dia
mengangguk pelan dengan senyum menyungging di bibirnya. Dengan segera ku
ambilkan minum untuknya. Dengan penuh kasih ku bantu dia meneguk air putih itu
secara perlahan.
Ku usap
rambutnya dan ku tatap matanya dalam. Aku tak tau lagi bagaimana aku
menunjukkan rasa cintaku untuknya. Aku merasa aku masih belum mampu
menunjukkannya.
“Uljima…”
dia bersuara parau dan tangannya berusaha mengusap butiran bening yang mengalir
di pipiku. Ku genggam erat tangan itu danku rasakan betapa hangatnya tangan
itu. ku cium tangan itu perlahan.
“Aku
tak mau kau menangis.”
“Ani…
aku tak menangis.” Aku mengusap air mataku dan menatapnya dalam.
“Setelah
kepergianku… menikahlah dngan pria yang lebih baik. Sudah cukup kau
mencintaiku.” Ku lihat dia menitikkan air matanya.
“Aniya…
kau suamiku… satu-satunya suamiku. Aku sudah bilang padamu oppa, aku akan
mencintamu meskipun beribu-ribu tahun lamanya bahkan lebih.” Aku menggeleng
pelan. “Kau… akan ada di hatiku. Aku tak akan mampu menghapusnya.” Tangisku
pecah lagi.
Ku
rengkuh wajahnya dan ku cium bibir pucatnya yang dingin. Aku benar-benar
mencintainya.
“Bawa
aku pulang.”
“Kau
harus di sini… kau harus mendapat perawatan.” Ucapku parau di sela isak
tangisku.
“Ani…
aku ingin pulang.” Dia menatapku penuh harap.
“jamkanman
eo… aku akan kembali lagi.” Ku lepaskan genggaman tangannya dan ku usap pipiku
yang basah. Aku bergegas keluar ruangan menemui keluargaku yang telah
menungguku.
“Appa…
dia ingin di bawa pulang.” Aku berkata pada ayah mertuaku.
Ayahku
berjalan mendekati ayah mertuaku dan menepuk pundak ayah mertuaku pelan.
“kita
bawa pulang seperti apa maunya.” Kata ayah mertuaku merengkuh kedua pipiku.
Dua
hari sudah dia berada di rumah, setiap hari dokter datang mengontrol
keadaannya. Dan tentu saja… semakin memburuk. Setiap pagi dan sore pula aku
membersihkan tubuhnya dngan mengelapnya. Mendandaninya setampan mungkin.
Pagi
ini aku telah selesai melakukan tugasku. Dokter pun telah selesai
mengontrolnya. Perlahan ku bantu dia duduk di kursi roda. Ku tata selimut untuk
menutupi kakinya agar tidak kedinginan. Kudorong kursi itu perlahan. Hari ini
kami akan pergi ke yayasan di mana kami dulu bertemu dan kemudian menikah.
Tempat itu menyimpan banyak kenangan tentangku dan dia.
Ku buka
sebuah pintu di ruangan di sudut yayasan perlahan.
Dakkk….
Kertas kecil bertaburan di depan kami.
“Saengil
Chukka Hamnida…. Saengil Chukka hamnida… Saranghaneun Uri Joongki… saengil
chukka Hamnida….” Anak-anak dan dokter telah berkumpul… keluargaku juga
berkumpul menyanyikan lagu itu.
Dia
membelalakkan matanya terkejut dan kemudian tersenyum. Ya… aku telah membuat
kejutan ulang tahun untuknya. Hari ini tepat 29 tahun usianya. 7 bulan setelah
pertemuan kami. Dan 1 bulan setelah pernikahanku dengannya. Berarti hampir 3
minggu dia berada di rumah sakit.
“Saengil
Chukka hamnida oppa…” Aku beralih berlutut di depannya. Ku gapai tangannya dan
kucium hangat.
“Goamwo jagiya…” ucapnya sendu
menatapku. Aku ingin memberikan kejutan untuknya.
Dia
yang biasanya memainkan piano, kini giliranku memainkan Gitar untuknya. Ku
ambil gitar yang berada di dekat piano. Aku duduk dengan tenang dan mulai
memetik senarnya perlahan. Dan kunyanyikan lagu yang menggambarkan isi hatiku
untuknya.
Heart
beats fast
Colours
and promises
How to
brave
How can
I love when I’m afraid to fall
But
watching you stand alone
All of
my doubt
Suddenly
goes away somehow
One
step closer…
I have
died everyday waiting for you
Darling
don’t be afraid I have loved you
For a
thousand years
I’ll
love you for a thousand more
Time
stands still
Charming
in all he is
I will
be brave
I will
not let anything take away
What’s
standing in front of me
Every
breath
Every
hour has come to this
One
step closer…
I have
died everyday waiting for you
Darling
don’t be afraid I have loved you
For a
thousand years
I’ll
love you for a thousand more
And all
along I’ll believe I would find you
Time
has brought your heart to me
I have
loved you for a thousand years
I’ll
love you for a thousand more….
Ku akhiri
petikan laguku. Ku tatap wajahnya yang terus tersenyum ke arahku. Ku lihat
sekilas semua orang di ruangan ini menangis. Tapi tidak denganku. Entah kenapa
hatiku begitu tegar saat ini meskipun ingin sekali aku menangis.
Jaehee
eonnie mendorong kursi roda joongki perlahan ke arahku. Joongki membuka
tangannya memberikan isyarat ingin memelukku. Ku letakkan gitarku dan aku
langsung menghambur ke dalam pelukannya. Dan kini pertahananku runtuh juga.
“Gomawo
jagiya… jeongmal gomawo.” Peluknya erat.
Aku tak
mampu menjawabnya. Aku hanya mengeratkan pelukanku saat ini.
Malam
pun menjelang. Ku rebahkan tubuh joongki ke atas tempat tidur kami dan ku ambil
selimut untuknya. Aku beringsut tidur menghadapnya dan memeluknya.
“Bo
Young-ah… kalau aku masih diberi waktu lama untuk bersamamu… aku ingin kau
memberiku anak-anak yang manis sepertimu.” Ucapnya membelai rambutku.
“Oppa
bicara apa? Tentu saja kau akan hidup lebih lama. Sangat lama. Seribu tahun
lagi kau akan tetap hidup. Dan tentu saja kita akan mempunyai anak-anak yang
lucu.” Aku sedikit mendongak untuk menatap matanya.
“Aku
mencintaimu…. Sama sepertimu. Aku mencintaimu sejak seribu tahun lalu….
beribu-ribu tahun berikutnya bahkan lebih dari itu.” ucap Joongki parau ke
arahku.
“Khaa…
nado oppa… nado…” ku elus pipinya, ku raba mata indahnya, hidungnya, bibirnya….
“Aku
ingin tidur dalam pelukanmu….” Ucapnya kemudian.
“Cha…”
aku yang semula tidur dalam pelukannya beringsut duduk menghadapnya. Ku cium
bibir pucatnya pelan dan ku raih dia dalam pelukanku yang sedikit terduduk di
sandaran tempat tidur kami.
“nyanyikan
aku lagu waktu itu….” ucapnya dalam pelukanku.
“Tidur
lah aku akan menyanyikannya.” Ucapku sembari tersenyum menatap wajahnya yang
mulai menutup mata.
“Hm…
aku akan tidur…” ucapnya dengan mata tertutup.
Sebelah
tanganku memeluk sembari membelai rambutnya dan sebelah tanganku melingkar di
dadanya yang dipegang erat tangannya. Aku mulai mulai bersenandung lirih…
I have
died everyday waiting for you
Darling
don’t be afraid I have loved you
For a
thousand years
I’ll
love you for a thousand more
And all
along I’ll believe I would find you
Time
has brought your heart to me
I have
loved you for…
Nyanyianku
terhenti ketika ku rasakan genggaman tangannya mulai memudar. Aku tercekat. Aku
serasa ingin menjerit.
“Tidurlah
oppa… tidurlah dengan damai…. Aku mencintaimu…” Ucapku parau dan tangan itu pun
akhirnya terjatuh melepaskan tanganku.
Aku
semakin mengeratkan pelukanku. Ku cium keningnya. Aku pun menangis tertahan.
Dia….
Telah tertidur…. Tidur untuk waktu yang sangat lama…
Aku
telah mencintaimu dari beribu-ribu tahun yang lalu, maka aku akan mencintaimu
untuk beribu-ribu tahun lagi bahkan lebih dari itu….
===
Dear my
beloved Husband…
Sebulan
kemudian… dokter memberikan sebuah kabar untukku. Kabar yang membuatku tak tau
harus menangis atau bersedih… kabar bahwa telah tumbuh sesuatu yang kau
inginkan… aku mengandung anakmu. Dia telah berumur 6 minggu di dalam tubuhku.
Aku akan membesarkannya mekipun aku sendirian. Dan kau akan tetap menjadi
suamiku meskipun terpisah ruang dan waktu. Selamanya Aku akan mencintaimu. Dan
kau tetap suamiku.
*FIN*
Langganan:
Postingan (Atom)